BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kehidupan remaja yang kawin
diusia dini tidak jarang terjadi ketegangan antara suami-istri
seperti tidak terkendalinya emosi yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental
dari pasangan usia dini tersebut yang pada akhirnya
dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi dalam rumah tangga.
Perkawinan merupakan suatu
peristiwa yang sangat penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup
seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan
perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek
fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga
yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan
perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah
perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan. Karena perkawinan adalah sakral
dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
Kenapa perkawinan bisa gagal?
Salah satu penyebabnya, mungkin suami atau istri terkena gangguan neurotik,
sehingga tidak mampu lagi menoleransi kelemahan pasangannya. Biasanya penderita
neurosis tidak mampu mengatasi ketegangan sarafnya karena mengalami
ketidakdewasaan emosional.
Memasuki suatu perkawinan
dituntut untuk melibatkan diri secara emosional atau batin, dalam hal ini bahwa
individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan
mengembangkan kebutuhan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah
suasana rumah tangga yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari
dilaksanakan perkawinan. Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai
tujuan sangat agung dan mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga
bahagia dan sejahtera yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang
melahirkan generasi manusia yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan yang
bahagia dan kekal, perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar perkawinan
menjadi “Surga Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Bertitik tolak dari fenomena yang
ada pada kehidupan remaja yang kawin di usia muda tidak jarang terjadi
ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi yang
dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari pasangan usia muda tersebut yang
pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi dalam rumah
tangga. Berdasarkan uraian di atas maka penyusun tertarik untuk mengambil judul makalah : “ Perkawinan Usia Dini ”.
1.2. Teori
1.2.1. Pengertian Perkawinan
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal
1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan
lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pada pasal 2 menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (YPAN, 2008).
Menurut Ahmad A, (1997:69)
mendefinisikan perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin
dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang
wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk
menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang
seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).
1.2.2. Pengertian Usia Dini
Usia Dini adalah anak yang ada pada masa peralihan
diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan
cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap
dan cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang
(Zakiah Daradjat, 1997:33).
Menurut Konopka (1976:241), menjelaskan bahwa masa
muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun
sama halnya dengan teori yang diungkapkan oleh Monks (1998:262) batasan usia
secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15
tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda
akhir.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1994:212) menyatakan
secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar.
Menurut Sarlito Wirawan (1991:51) masa muda adalah
masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa bukan hanya psikologisnya saja
akan tetapi juga fisiknya. Bahkan perubahan fisik itulah merupakan gejala
primer dari pertumbuhan usia muda, sedangkan perubahan-perubahan psikologis itu
muncul sebagai akibat dari perubahan fisik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat
disimpulkan bahwa masa muda adalah seseorang yang telah menginjak usia dua
belas tahun dan kira-kira berakhir usia dua puluh satu tahun, yang disebut juga
dengan masa badai dan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar
yang mana sangat berpengaruh pada psikologi usia muda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan
usia remaja adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada
hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis,
psikologis maupun sosial ekonomi.
1.2.3. Pengertian
Perkawinan Usia Dini
Pengertian
perkawinan usia dini adalah
sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di
bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Jadi
sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan
masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).
BAB II
PERMASALAHAN
Kasus perkawinan usia dini banyak
terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang terutama di
daerah-daerah terpencil. Analisis survei penduduk antar sensus
(SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk
kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan
dan 11,88% di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan
lebih banyak yang melakukan perkawinan pada usia dini. Meskipun
perkawinan usia dini merupakan
masalah predominan di negara berkembang, terdapat bukti bahwa kejadian ini juga
masih berlangsung di negara maju yang orangtua menyetujui pernikahan anaknya
berusia kurang dari 15 tahun.
Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang
timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini,
kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan
bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini,
bahkan ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia
dini diantaranya faktor pendidikan, lingkungan, sosial dan agama.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu
risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia
muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu,
pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan
kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian
kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan
kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak
termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek
pernikahan usia dini.
BAB III
PEMECAHAN
MASALAH
3.1.
Faktor-Faktor Pendukung atau Penyebab Perkawinan Usia Dini
Dari banyak kasus perkawinan dini yang terjadi di Sumedang, umumnya
disebabkan karena:
3.1.1. Faktor
Pendidikan.
Peran
pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus
sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat
ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk
menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah
tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka
akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin
hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar
nikah. Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita
anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun
terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib
belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka
akan punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka perkawinan usia dini.
3.1.2. Faktor Lingkungan
Alasan orang tua segera
menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan
kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan
yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa
keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki
setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.
Dimana perkawinan tersebut
dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia (orang
tua mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang sebelumnya
diantara mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan
menjadi kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat
dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui
oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan
tersebut.
3.1.3. Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan
anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut.
a.
Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan
pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab
menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima
sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai
taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan
kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b.
Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha
orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan
diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si
anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin
kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya,
dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling membutuhkan
serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda tersebut terjadi,
lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil, sedemikian rupa
sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi satu usaha yang lebih
besar.
3.1.4. Faktor Sosial
Di dalam melangsungkan suatu
perkawinan, di sini wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan
perkawinan. Hal ini berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah
mencapai tingkat perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan
karena hukum adat itu tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang
sudah dewasa dan cakap hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan
sedikit demi sedikit menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di
sini yang dimaksud sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga
individu yang bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :
a.
Sudah mampu untuk menjaga diri.
b.
Cakap untuk mengurus harta benda dan keperluan
sendiri.
c.
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan segala-galanya sendiri.
3.1.5. Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan
manusia juga disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia
tidak hancur ke dalam perbuatan maksiat, dan disamping itu juga dibekali oleh
akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang
dihadapinya, salah satunya aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga
perkawinan.
3.2.
Faktor-faktor yang Menghambat Perkawinan Usia Muda
Faktor-faktor yang menghambat perkawinan usia muda sebagai berikut :
3.2.1. Faktor Psikologis
Dalam perkawinan seseorang
dituntut untuk melibatkan diri secara emosional atau batin disamping adanya
ikatan secara lahir. Hal ini menjelaskan bahwa individu yang telah memasuki
lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan menyeimbangkan emosional dengan
pasangan hidupnya agar tercapai suasana rumah tangga bahagia seperti yang
menjadi tujuan dari dilaksanakannya perkawinan.
Dengan demikian maka kesiapan
atau kematangan psikologis sangat menentukan tingkat keberhasilan dari sebuah
rumah tangga yang ingin dibentuk. Dalam hal ini diharapkan seseorang telah
memiliki kematangan psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena
dengan kematangan psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan
memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian
hari.
3.2.2. Faktor Pengetahuan Tentang Kesehatan
Banyak pasangan perkawinan usia dini yang tidak memperhatikan tentang kesehatan kedua
belah pihak karena mereka berfikir perkawinan dalam usia dini sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya tidak
demikian, pengetahuan tentang kesehatan sangat kurang yang dipunyai oleh
mereka. Padahal kesehatan sangatlah penting demi kelanjutan hidup dalam berumah
tangga.
3.2.3. Faktor Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah dalam perkawinan usia dini dilarang dikarenakan dalam perkawinan usia dini banyak terdapat perceraian yang
diakibatkan usia kedua belah pasangan yang sangat terlalu muda dan kurangnya
pegetahuan tentang peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dalam hal
perkawinan menegaskan bahwa bagi orang yang akan menikah harus berusia minimal
17 tahun. Peraturan itu diberlakukan karena ditakutkan akan banyak terjadi
perceraian dalam usia muda.
3.3.
Dampak Perkawinan Usia Dini
3.3.1. Dampak positif
Dampak positif dari perkawinan
usia dini sebagai berikut :
a.
Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama
perkawinan usia dini pada dasarnya tidak dilarang,
karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai implikasi dan tujuan
untuk menghindari adanya perzinahan yang sering dilakukan para remaja yang
secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh agama maupun hukum.
b.
Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya
yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun
psikologis. Oleh karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai
konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan
demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan
akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab,
baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).
3.3.2. Dampak negatif
Dampak negatif dari perkawinan
usia muda sebagai berikut :
a.
Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, perkawinan usia dini dapat berpengaruh pada tingginya
angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada
rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, usia yang
kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya
melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung
resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas
(lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya cacat
bawaan, fisik, maupun mental, penyakit ayan, kebutaan, dan ketulian.
b.
Segi Fisik
Pasangan usia dini belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan
ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi
kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan
dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa
ketergantungan kepada orang tua harus dihindari. Utamanya bagi pria.
c.
Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia dini belum siap bertanggung jawab secara moral, pada
setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami
kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum
matang emosionalnya.
d.
Segi Kependudukan
Perkawinan usia dini, ditinjau dari segi kependudukan
mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung
pembangunan di bidang kesejahteraan.
e.
Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia dini adalah perkawinan yang masih
rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan
banyak terjadinya perceraian.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
1. Dari banyak kasus perkawinan usia dini yang terjadi di
Sumedang, umumnya disebabkan karena:
a.
Faktor
Pendidikan.
b.
Faktor
Lingkungan.
c.
Faktor Sosial.
d.
Faktor Ekonomi.
e.
Faktor Agama.
2.
Faktor-faktor yang menghambat perkawinan usia dini sebagai berikut :
a.
Faktor
Psikologis
b.
Faktor
Pengetahuan tentang Pemerintahan
c.
Faktor
Pemerintah
3.
Dampak positif dari perkawinan
usia dini adalah menghindari perzinahan dan belajar bertanggung jawab. Sedangkan dampak negatif dari perkawinan
usia dini dapat dilihat dari beberapa segi, diantaranya :
a.
Segi Kesehatan
b.
Segi Fisik
c.
Segi Mental
d.
Segi
Kependudukan
e.
Segi
Kelangsungan Rumah Tangga
4.2.
Rekomendasi
Setelah kami
teliti bahwa dalam UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, ternyata terdapat ketidaksinkronan tentang usia seseorang yang masih
dikategorikan sebagai anak-anak, maka kami merekomendasikan usulan sebagai
berikut :
1. Adanya
kepastian ketentuan batas minimal usia perkawinan, misalnya diambil jalan tengah
dari usia 16-18 tahun yaitu 17 tahun. Jadi seseorang boleh melaksanakan perkawinan
apabila telah berusia di atas 17 thn.
2. Adanya
ketegasan lembaga-lembaga yang mengurus perihal pendaftaran perkawinan. Jadi
apabila orang yang mendaftar perkawinan belum berusia diatas 17 tahun, maka
tidak boleh diterima kecuali dalam kondisi tertentu yang memang tidak ada
solusi lain selain perkawinan.
3. Terealisasinya
Program Wajar Dikdas 12 Tahun. Jadi ketika seseorang
lulus SMA sudah memenuhi syarat menikah.
4. Adanya
sosialisasi dampak negatif dari perkawinan usia dini yang meluas ke seluruh
daerah di indonesia terutama ke daerah-daerah pinggiran.
5. Memperluas
lapangan pekerjaan karena apabila kita melihat dari faktor yang menyebabkan perkawinan usia dini, faktor
yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi. Selain itu perluasan lapangan
pekerjaan tidak hanya mampu mengurangi angka perkawinan usia dini tetapi juga
secara otomatis akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
6. Penerapan
pendidikan agama sedini mungkin karena faktor lain yang mengacu pada penyebab
perkawinan usia dini adalah kehamilan yang terjadi di luar perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta
: Rineka Cipta.
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar