Senin, 02 Juni 2014

Laporan Observasi tentang Pernikahan Usia Dini



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Kehidupan remaja yang kawin diusia dini tidak jarang terjadi ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari pasangan usia dini tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi dalam rumah tangga.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan. Karena perkawinan adalah sakral dan tidak dapat dimanipulasikan dengan apa pun.
Kenapa perkawinan bisa gagal? Salah satu penyebabnya, mungkin suami atau istri terkena gangguan neurotik, sehingga tidak mampu lagi menoleransi kelemahan pasangannya. Biasanya penderita neurosis tidak mampu mengatasi ketegangan sarafnya karena mengalami ketidakdewasaan emosional.
Memasuki suatu perkawinan dituntut untuk melibatkan diri secara emosional atau batin, dalam hal ini bahwa individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan mengembangkan kebutuhan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai sebuah suasana rumah tangga yang bahagia, seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakan perkawinan. Karena perkawinan disyari’atkan oleh Islam mempunyai tujuan sangat agung dan mulia, yaitu untuk mewujudkan terbentuknya rumah tangga bahagia dan sejahtera yang diliputi oleh rasa cinta dan kasih sayang yang melahirkan generasi manusia yang sholeh dan sholehah. Sehingga perkawinan yang bahagia dan kekal, perlu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, agar perkawinan menjadi “Surga Kehidupan” dan bukan sebaliknya.
Bertitik tolak dari fenomena yang ada pada kehidupan remaja yang kawin di usia muda tidak jarang terjadi ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari pasangan usia muda tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi dalam rumah tangga. Berdasarkan uraian di atas maka penyusun tertarik untuk mengambil judul makalah : “ Perkawinan Usia Dini .


1.2.       Teori
1.2.1.      Pengertian Perkawinan

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut : “Perkawinan ialah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pada  pasal 2 menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (YPAN, 2008).
Menurut Ahmad A, (1997:69) mendefinisikan perkawinan adalah: melaksanakan Aqad (perikatan yang dijalin dengan pengakuan kedua belah pihak (antara seorang laki-laki dan seorang perempuan atas dasar keridhoan dan kesukaan kedua belah pihak, oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang telah ditetapkan syarat untuk menghalalkan hidup serumah dan menjadikan yang seorang condong kepada yang seorang lagi dan menjadikan masing-masing dari padanya sekutu (teman hidup).




1.2.2.      Pengertian Usia Dini
Usia Dini adalah anak yang ada pada masa peralihan diantara masa anak-anak dan masa dewasa dimana anak-anak mengalami perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak-anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir dan bertindak, tetapi bukan orang dewasa yang telah matang (Zakiah Daradjat, 1997:33).
Menurut Konopka (1976:241), menjelaskan bahwa masa muda dimulai pada usia dua belas tahun dan diakhiri pada usia lima belas tahun sama halnya dengan teori yang diungkapkan oleh Monks (1998:262) batasan usia secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir.
Menurut Elizabeth B. Hurlock (1994:212) menyatakan secara tradisional masa muda dianggap sebagai “badai dan tekanan” yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Menurut Sarlito Wirawan (1991:51) masa muda adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa bukan hanya psikologisnya saja akan tetapi juga fisiknya. Bahkan perubahan fisik itulah merupakan gejala primer dari pertumbuhan usia muda, sedangkan perubahan-perubahan psikologis itu muncul sebagai akibat dari perubahan fisik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa masa muda adalah seseorang yang telah menginjak usia dua belas tahun dan kira-kira berakhir usia dua puluh satu tahun, yang disebut juga dengan masa badai dan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar yang mana sangat berpengaruh pada psikologi usia muda.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia remaja adalah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang pada hakekatnya kurang mempunyai persiapan atau kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi.


1.2.3.      Pengertian Perkawinan Usia Dini
Pengertian perkawinan usia dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Jadi sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja).

























BAB II
PERMASALAHAN


Kasus perkawinan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latar belakang terutama di daerah-daerah terpencil. Analisis survei penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih banyak yang melakukan perkawinan pada usia dini.  Meskipun perkawinan usia dini merupakan masalah predominan di negara berkembang, terdapat bukti bahwa kejadian ini juga masih berlangsung di negara maju yang orangtua menyetujui pernikahan anaknya berusia kurang dari 15 tahun.
 Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini, kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini, bahkan ada faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perkawinan usia dini diantaranya faktor pendidikan, lingkungan, sosial dan agama.  
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam menghentikan praktek pernikahan usia dini.


BAB III
PEMECAHAN MASALAH

3.1.            Faktor-Faktor Pendukung atau Penyebab Perkawinan Usia Dini
Dari banyak kasus perkawinan dini yang terjadi di Sumedang, umumnya disebabkan karena:

3.1.1.      Faktor Pendidikan.
         Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri. Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah. Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka perkawinan usia dini.

3.1.2.      Faktor Lingkungan
Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia muda adalah untuk segera mempersatukan ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama. Keinginan adanya ikatan tersebut akan membawa keuntungan-keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu dimana mempelai laki-laki setelah menikah tinggal di rumah mertua serta anak laki-laki tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bantuan tenaga kerja bagi mertuanya.
Dimana perkawinan tersebut dilatar belakangi oleh pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia (orang tua mempelai perempuan atau orang tua mempelai laki-laki) yang sebelumnya diantara mereka pernah mengadakan perjanjian sebesanan agar tali persaudaraan menjadi kuat. Selain itu untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar kerabat dan untuk mencegah adanya perkawinan dengan orang lain yang tidak disetujui oleh orang tua atau kerabat yang bersangkutan dengan dilaksanakannya perkawinan tersebut.

3.1.3.      Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda dilihat dari faktor ekonomi adalah sebagai berikut.
a.       Untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan anak-anaknya dalam usia muda ini, akan diterima sumbangan-sumbangan berupa barang, bahan, ataupun sejumlah uang dari handai taulannya yang dapat dipergunakan selanjutnya untuk menutup biaya kebutuhan kehidupan sehari-hari untuk beberapa waktu lamanya.
b.      Untuk menjamin kelestarian ataupun perluasan usaha orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan sebab dengan diselenggarakannya perkawinan anaknya dalam usia muda dimaksudkan agar kelak si anak dari kedua belah pihak itu yang sudah menjadi suami istri, dapat menjamin kelestarian serta perkembangan usaha dari kedua belah pihak orang tuanya, dimana usaha-usaha tersebut merupakan cabang usaha yang saling membutuhkan serta saling melengkapi. Bahkan setelah perkawinan usia muda tersebut terjadi, lazimnya langkah-langkah pendekatan sudah mulai diambil, sedemikian rupa sehingga kedua cabang usaha tersebut berkembang menjadi satu usaha yang lebih besar.



3.1.4.      Faktor Sosial
Di dalam melangsungkan suatu perkawinan, di sini wanita tidak mengukur usia berapa dia dapat melangsungkan perkawinan. Hal ini berdasarkan pada suatu kriteria yaitu apakah dia sudah mencapai tingkat perkembangan fisik tertentu. Kenyataan tersebut disebabkan karena hukum adat itu tidak mengenal batas yang tajam antara seseorang yang sudah dewasa dan cakap hukum ataupun yang belum. Di mana hal tersebut berjalan sedikit demi sedikit menurut kondisi, tempat, serta lingkungan sekitarnya. Di sini yang dimaksud sudah dewasa adalah mencapai suatu umur tertentu sehingga individu yang bersangkutan memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri antara lain :
a.       Sudah mampu untuk menjaga diri.
b.      Cakap untuk mengurus harta benda dan keperluan sendiri.
c.       Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan segala-galanya sendiri.


3.1.5.      Faktor Agama
Agama untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sepanjang zaman. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia juga disertai dengan pedoman agama, hal ini untuk menjaga agar manusia tidak hancur ke dalam perbuatan maksiat, dan disamping itu juga dibekali oleh akal sebagai alat untuk berpikir dan menalar segala permasalahan yang dihadapinya, salah satunya aspek yang diatur oleh agama adalah lembaga perkawinan.


3.2.            Faktor-faktor yang Menghambat Perkawinan Usia Muda
Faktor-faktor yang menghambat perkawinan usia muda sebagai berikut :
3.2.1.      Faktor Psikologis
Dalam perkawinan seseorang dituntut untuk melibatkan diri secara emosional atau batin disamping adanya ikatan secara lahir. Hal ini menjelaskan bahwa individu yang telah memasuki lembaga perkawinan harus mampu mengendalikan dan menyeimbangkan emosional dengan pasangan hidupnya agar tercapai suasana rumah tangga bahagia seperti yang menjadi tujuan dari dilaksanakannya perkawinan.
Dengan demikian maka kesiapan atau kematangan psikologis sangat menentukan tingkat keberhasilan dari sebuah rumah tangga yang ingin dibentuk. Dalam hal ini diharapkan seseorang telah memiliki kematangan psikologis sebelum memasuki jenjang perkawinan, karena dengan kematangan psikologis inilah seseorang telah dapat meredam dan memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam rumah tangga kelak di kemudian hari.

3.2.2.      Faktor Pengetahuan Tentang Kesehatan
Banyak pasangan perkawinan usia dini yang tidak memperhatikan tentang kesehatan kedua belah pihak karena mereka berfikir perkawinan dalam usia dini sangatlah mudah padahal dalam kenyataannya tidak demikian, pengetahuan tentang kesehatan sangat kurang yang dipunyai oleh mereka. Padahal kesehatan sangatlah penting demi kelanjutan hidup dalam berumah tangga.

3.2.3.      Faktor Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah dalam perkawinan usia dini dilarang dikarenakan dalam perkawinan usia dini banyak terdapat perceraian yang diakibatkan usia kedua belah pasangan yang sangat terlalu muda dan kurangnya pegetahuan tentang peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dalam hal perkawinan menegaskan bahwa bagi orang yang akan menikah harus berusia minimal 17 tahun. Peraturan itu diberlakukan karena ditakutkan akan banyak terjadi perceraian dalam usia muda.






3.3.            Dampak Perkawinan Usia Dini
3.3.1.      Dampak positif
Dampak positif dari perkawinan usia dini sebagai berikut :
a.       Menghindari perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama perkawinan usia dini pada dasarnya tidak dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan tersebut mempunyai implikasi dan tujuan untuk menghindari adanya perzinahan yang sering dilakukan para remaja yang secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh agama maupun hukum.
b.      Belajar bertanggung jawab
Suatu perkawinan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu dalam kehidupannya suami/istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar perkawinan tersebut dapat dipertahankan. Dengan demikian dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa dilakukannya suatu perkawinan akan memberikan motivasi/dorongan kepada seseorang untuk bertanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada orang lain (istrinya).

3.3.2.      Dampak negatif
Dampak negatif dari perkawinan usia muda sebagai berikut :
a.       Segi Kesehatan
Dilihat dari segi kesehatan, perkawinan usia dini dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu kesehatan, usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya cacat bawaan, fisik, maupun mental, penyakit ayan, kebutaan, dan ketulian.


b.      Segi Fisik
Pasangan usia dini belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari. Utamanya bagi pria.
c.       Segi Mental/Jiwa
Pasangan usia dini belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosionalnya.
d.      Segi Kependudukan
Perkawinan usia dini, ditinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
e.       Segi Kelangsungan Rumah Tangga
Perkawinan usia dini adalah perkawinan yang masih rawan dan belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah serta menyebabkan banyak terjadinya perceraian.












BAB IV
PENUTUP

4.1.            Kesimpulan
1.      Dari banyak kasus perkawinan usia dini yang terjadi di Sumedang, umumnya disebabkan karena:
a.       Faktor Pendidikan.
b.      Faktor Lingkungan.
c.       Faktor Sosial.
d.      Faktor Ekonomi.
e.       Faktor Agama.
2.      Faktor-faktor yang menghambat perkawinan usia dini sebagai berikut :
a.         Faktor Psikologis
b.         Faktor Pengetahuan tentang Pemerintahan
c.         Faktor Pemerintah
3.      Dampak positif dari perkawinan usia dini adalah menghindari perzinahan dan belajar bertanggung jawab. Sedangkan dampak negatif dari perkawinan usia dini dapat dilihat dari beberapa segi, diantaranya :
a.         Segi Kesehatan
b.         Segi Fisik
c.         Segi Mental
d.        Segi Kependudukan
e.         Segi Kelangsungan Rumah Tangga


4.2.            Rekomendasi
Setelah kami teliti bahwa dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ternyata terdapat ketidaksinkronan tentang usia seseorang yang masih dikategorikan sebagai anak-anak, maka kami merekomendasikan usulan sebagai berikut :
1.      Adanya kepastian ketentuan batas minimal usia perkawinan, misalnya diambil jalan tengah dari usia 16-18 tahun yaitu 17 tahun. Jadi seseorang boleh melaksanakan perkawinan apabila telah berusia di atas 17 thn.
2.      Adanya ketegasan lembaga-lembaga yang mengurus perihal pendaftaran perkawinan. Jadi apabila orang yang mendaftar perkawinan belum berusia diatas 17 tahun, maka tidak boleh diterima kecuali dalam kondisi tertentu yang memang tidak ada solusi lain selain perkawinan.
3.    Terealisasinya Program Wajar Dikdas 12 Tahun. Jadi ketika seseorang lulus SMA sudah memenuhi syarat menikah.
4.      Adanya sosialisasi dampak negatif dari perkawinan usia dini yang meluas ke seluruh daerah di indonesia terutama ke daerah-daerah pinggiran.
5.      Memperluas lapangan pekerjaan karena apabila kita melihat dari faktor  yang menyebabkan perkawinan usia dini, faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor ekonomi. Selain itu perluasan lapangan pekerjaan tidak hanya mampu mengurangi angka perkawinan usia dini tetapi juga secara otomatis akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia.
6.      Penerapan pendidikan agama sedini mungkin karena faktor lain yang mengacu pada penyebab perkawinan usia dini adalah kehamilan yang terjadi di luar perkawinan.












DAFTAR PUSTAKA


Ahmadi, Abu. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta : Rineka Cipta.
UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak



Tidak ada komentar:

Posting Komentar