BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dari sisi metodologis hukum islam
dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah nabi
melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang gerak metodologi
antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat petunjuk-petunjuk global dan
jedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum islam
memiliki sifat elastis dan akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah
belebihan. Karakteristik hukum islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan
akal, menurut Anderson, merupakan ciri khas yang membedakan hukum islam dari
system hukum lainnya. Syariat islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah seccara komprehensif ,
memerlukan penelahaan dan pengkjian ilmiah yang sungguh – sungguh serta
berkesinambungan. Di dalam keduanya terdapat lafad yang ‘am-khash, muthlaq –
muqayyad, nasikhmansukh, dan muhkam- mutasyabih, yang masih memerlukan
penjelasan. Sementara itu , nas Al-Qur’an dan sunah tekah berhenti, padahal
waaktu terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih
berganti (al-wahy qad intaha wal al waqa’I layantahi ). Oleh karena itu,
diperlukan usaha penyelesaiian secara sungguh-sungguh atas
persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Ijtihad menjadi sangat penting.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan ijtihad ?
2. Apa
saja syarat-syarat seorang mujtahid ?
1.3 Tujuan penulisan
1. Memperluas
wawasan tentang apa itu ijtihad.
2. Menuntut
mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid dan
jenis-jenis ijtihad.
1.4 Metode dan teknik penulisan
Berbagai metode dan teknik penuisan
dapat kita gunakan. Namun dalam hal ini metode dan teknik penulisan yang kami
gunakan dengan cara browsing internet dan kajian buku.
BAB
II
IJTIHAD
SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
2.1 Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara bahasa ijtihad
berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya menunjukan
pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau yang tidak
disenangi . kata ini pun berarti kesanggupan (al wus), kekuatan (al thaqah),
dan berat (al masyaqqah), (ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi
t.th:112,dan eli’as dan eli’as. dan ed.e. eli’as 1982:126). Para ulama
mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa
. ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi.
Secara bahasa dalam artian jahada terdapat didalam al-Qur’an surat
an-nahl (16) ayat 38 , surat annur (24) ayat 53, dalam surat fathir (35) ayat
42. Semua kata itu berarti pengarahan segala kemampuan dan kekuatan. Dalam al
sunnah kata ijtihad terdapat dalam sabda nabi yang artinya pada waktu sujud,
bersungguh-sungguh dalam berdo’a dan
hadist lain yang artinya “Rosul alloh SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam,
ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat ajaran Al-Qur’an dan hadis memang
menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300,
hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah,
ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran
dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh
orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada mulanya Sahabat
Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat Nabi dan para ulama
itu diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti ‘daya upaya” atau “usaha keras”.
Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh
sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti “berusaha keras untuk mengetahui
hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i
fi nail hukm syar’i bi dalil syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam
istilah fikih inilah yang banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad
juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang
menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain,
mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam
masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain. Dan pada hakikatnya
mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini
adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang
juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain. Dr.
Muhammad al-Ruwaihi juga menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini timbul
berbagai pendapat tentang Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab
serta orang Islam sendiri. Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan Ijtihad,
baik secara perorangan maupun kolektif, yang memperoleh pahala sesuai dengan
benar atau salahnya ijtihad itu. Berikut adalah sejarah dan perkembangan ijtihad
:
1.
Bidang Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad
dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam : siapa pengganti nabi
Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Kaum Anshar
berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan
alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah.
Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar, yang berhak menjadi khalifah pengganti
Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan Nabi Muhammad bersabda “para pemuka/
al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”. Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah
yang dipegang oleh ummat Islam, yang dikenal dengan ‘Sunni’. Adapun menurut
ijtihad Ali, yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi
Muhammad. Ijtihad ini di kemudian hari melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam
madzhab ini terdapat perbedaan pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah,
Syi’ah Ismailiyah, dan Syi’ah 12. Dan kaum khawarij tidak menyetujui hasil
ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij)
berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan,
dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia harus orang Arab,
Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah,
Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian orang Islam tidak mau membayarkan
zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui
ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah yang dikuasai oleh
tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan sunah Nabi
Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang
menaklukkannya.
2.
Bidang Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul
satu masalah: bagaimana kedudukan orang yang berbuat dosa besar, apakah masih
mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa
besar itu keluar dari Islam, dan karena itu ia adalah kafir. Kaum Murji’ah
berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut Kaum Mu’tazilah, ia tidak
mukmin dan tidak pula kafir, tetapi muslim.
Dalam bidang akidah ini selanjutnya
timbul masalah: apakah perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia
itu sendiri? Mengenai masalah ini, ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah
Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi terjadi berkat kehendak dan daya yang
diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal ini bertentangan dengan ijtihad
Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara :perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh
Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut al-Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan
yang diciptakan oleh Tuhan, dan untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan
dan fi’il manusia.
Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam
ajaran Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa
ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara
harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula, tetapi tidak sama dengan kursi
manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah ayat-ayat tersebut harus
diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya. Dengan demikian, kursi Tuhan
berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda
dalam bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murji’ah,
Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini
mengikat pengikut masing-masing.
3.
Bidang Filsafat
Setelah terjadi kontak dengan
filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari pemikiran-pemikiran para filosof
Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang penciptaan alam timbullah ijtihad
di kalangan para filosof Islam tentang
penciptaan alam. Menurut al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini
dari sesuatu yang telah ada, bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran
(al-faid) dari Tuhan. Unsur ini (pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan
oleh Tuhan sejak qidam. Dengan demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah
qadim ditinjau dari segi unsurnya. Menciptakan sesuatu dari ketidakadaan
menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad al-Ghazali, Tuhan
itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini dari ketiadaan, dan memang
alam ini diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan, dan bukan melalui pancaran.
Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa karena unsur itu tidak qadim, maka alam
pun bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn Rusyd memperkuat ijtihad
golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an ;” dan Ialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di
atas air (Hud, 11:7)
dan
ayat “Kemudian Iapun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim,
41:11)
Ibn
Rusyd berijtihad, kedua ayat itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit
diciptakan oleh Tuhan, air dan uap itu telah ada. Dari kedua unsur inilah Tuhan
menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang
menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum
bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.
2.2 Dasar-dasar ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah,
Al-Qur’an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut .
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),karena
(membela)orang-orang yang khianat.” (Q.S. Al-Nisa(4):105)
“Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Q.S
Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di
antarannya hadis ‘Amr bin al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim,
dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :
“Apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan berijtihad,kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua
pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan
satu pahala” (Muslim,II,t.th:62)
2.3 Syarat-Syarat
Mujtahid
Mujtahid ialah orang yang mampu
melakukan ijtihad melalui cara istiinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum
syariat) dan tathbiq (penerapan hukum).
Rukun
ijtihad:
1. Al-waqi’,
yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan
nas.
2. Mujtahid,
ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad
dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid
fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)
4. Dalil
syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (nadiyah syafari al-umari,
t.th:199-200)
Menurut
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-syarat mujtahid ada dua :
1. Mengetahui
syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat
mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri sesuatu yang
seharusnya diakhiri.
2. Adil
dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Menurut Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain
al-Razi (1988:496-7), syarat-syarat mujtahid adalah:
1. Mukalaf,
karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2. Mengetahui
makna-makna lafad dan rahasianya.
3. Mengetahui
keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
4. Mengetahui
keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Menurut
Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga.
1. Memahami
tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup
pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs),
pemeliharaan akal (hifzh al-aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan
pemeliharaan harta (hifzh al-mal);hajiyyat, dan tahsiniyyat.
2. Mampu
melakukan penetapan hukum.
3. Memahami
bahasa arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda degan syarat-syarat
terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat
mujtahid sebagai berikut :
1. Mengetahui
Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah hukum. Jumlah
ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui
ijmak sehingga tidak berfatwa atu berpendapat yang menyalahi ijmak ulama.
3. Mengetahui
bahasa Arab karena Al-Qur’an dan al-sunnah disusun dalam bahasa Arab.
4. Mengetahui
ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid karena
membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh seorang mujtahid itu cukup banyak. Maka menurut Muhaimin
dkk, sesuai dengan syarat-syarat yang dimilikinya, mujtahid itu terbagi menjadi
beberapa tingkatan. Tingkatan-tingkatan itu adalah mujtahid muthlaq dan mujtahid
madzhab. Mujtahid Muthlaq
ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya. Di samping
itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai landasan ijtihad.
Mujtahid mutlaq terbagai menjadi dua tingkatan. Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam
ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak
taklid kepada mujtahid lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun
menjadi mazhab tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh
mazhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam
Hambali. Kedua, mujtahid muthlaq muntasib,
yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak
menyusun metode sendiri. Mujtahid kelompok ini tidak taklid kepada imamnya tanpa
dalil dan keterangan, ia menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti
dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya. Contohnya, Al-Mujani dari mazhab
Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan
hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhabnya dengan
cara menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu
Ja’far Al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua :
1. Mujtahid
takhrij.
2. Mujtahid
tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.
2.4 Fungsi
Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara
sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur
secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan
pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat
masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam
melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi
persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu
masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
2.5 Jenis-jenis ijtihad
·
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni
kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
·
Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya
Beberapa definisi qiyâs (analogi):
v Menyimpulkan
hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di
antara keduanya.
v Membuktikan
hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di
antaranya.
v Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau
[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
v Menetapkan
sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh al-qur'an dan
hadist
·
Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
v Fatwa
yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal
itu adalah benar.
v Argumentasi
dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
v Mengganti
argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
v Tindakan
memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
v Tindakan
menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya...
·
Maslahah
murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah
yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia
berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
·
Sududz
Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
·
Istishab
Adalah tindakan menetapkan
berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
·
Urf
Adalah tindakan menentukan masih
bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan
tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan
Hadis.
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ijtihad secara harfiah
adalah usaha keras. Dalam terminology hukum islam itu berarti berusaha
sekeras-kerasnya untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah
hukum.
Mujtahid adalah orang
muslim dewasa yang berakal sehat yang mempunyai kapabilitas & kopetensi
untuk menghasilkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya.
Ijma' artinya
kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Qiyas adalah menyimpulkan
hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di
antara keduanya.
Istihsan adalah argumentasi
dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Mukti.2000.Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad
Iqbal.Jakarta : PT Bulan Bintang.
Ajib
Mas’adi, Ghufron.1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Asmawi.2011.
Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH.
http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad
Ikut copy ya,,,
BalasHapusizin copy ya gan di share di afdhalilahi.com
BalasHapusizin copy buat referensi makalah
BalasHapusizin copy yah :)
BalasHapus